Tuesday, August 15, 2017

Hafidz's last days :(

BISMILLAHORROHMAANIRROHIIM
Segala Puji bagi Allah atas segala limpahan rahmat dan karunia yang di berikan

Baru kali ini berani buka blog lagi, buka buku jurnal Hafidz lagi dan beranikan diri untuk buat post. Post kali ini sungguh berat rasanya. campur aduk perasaan saya, bolak balik baca dan edit. 
sebenarnya tulisan ini sudah saya buat jauh hari, saat itu dalam persiapan mengangkat cerita Hafidz dalam sebuah buku. Namun karena urung terwujud dan setelah konsultasi dengan sahabat sesama penulis buku, saya putuskan untuk post cerita ini di blog. Teruntuk saudara teman kerabat dan kenalan yang mengenal dan membaca blog Hafidz, mohon maaf saya baru dapat menceritakan hari hari terakhir Hafidz melalui blog ini, 
Sungguh menulis menjadi salah satu cara saya untuk kuat, to heal, to learn and to remember...
terima kasih,,,
it's not the end, i will continue writing about my little family and our upcoming journey ahead!



Di tahun 2016, kami menemukan tantangan baru dalam merawat Hafidz. Hafidz sudah bertambah besar!, lebih aktif, dan terlihat beberapa keterampilan motorik kasar nya yang membaik. Hafidz lebih mahir memegang mainan, sudah bisa lebih tepat meraih sesuatu di depan matanya, sudah lebih betah diajak latihan duduk, dan lebih  bisa memperlihatkan ekspresi berbeda saat ngantuk, marah atau sakit. Karena tangan sudah lebih aktif dan mahir, Hafidz sering menggaruk mata, kuping, dan yang paling membutuhkan perhatian lebih adalah, sudah pandai menggaruk perut terutama daerah button nya. Beberapa cara kami lakukan untuk melindungi button. Cara yang lumayan ampuh adalah dengan membalut perut Hafidz meggunakan kain lembut yang tipis beberapa lapis, dan menggantu setiap basah. Memang selalu basah, karena Hafidz belum bisa duduk lama dan berdiri, masih sangat suka telungkup dan berguling, sehingga harus kami ganti beberapa kali sehari.
Salah satu permasalahan yang terjadi pada anak dengan gastrostomi adalah adanya rembesan cairan lambung yang keluar melalui stoma nya. Parah tidak nya sangat bergantung pada kondisi anak masing masing. Saya sudah sering melihat di media social dan berbincang dengan beberapa anak dengan gastrostomi. Memang akan selalu ada rembesan, namun beberapa anak rembesan nya tidak terlalu banyak, terutama anak yang sudah pandao duduk dan berjalan, sehingga kondisi kulit nya juga baik. Pada hafidz rembesan yang terjadi lebih banyak di banding anak lainnya. Kulit sekitar button sering merah, namun tidak perih dan sakit. Hafidz tetap bermain seperti biasa. Kami coba kontrol dan follow up ke beberaoa dokter. Diantara nya dokter gastro anak dan bedah anak di Pekanbaru, Jakarta hingga akhirnya kami memutuskan untuk membawa Hafidz kontrol ke Singapore.
Tanggal 8 Agustus 2016, saya, Hafidz dan suami berangkat dengan penerbangan langsung Pekanbaru Singapore. Hafidz dalam kondisi baik, tidak demam, tidak sakit dan aktif bermain. Suami diberikan izin untuk beberapa hari. Saya sendiri saat itu kondisi baik. Memang beberapa minggu sebelumnya, saya dan suami mendapat kabar baik, tes kehamilan saya positif. Saya hamil anak kedua, perasaan bahagia dan bersyukur yang tidak dapat saya gambarkan. Sudah sering saya bercerita ke Hafidz bahwa dia akan menjadi abang, selalu mengajak nya berdoa agar kami selalu sehat, supaya bisa bermain dengan adik nya saat sudah lahir. Awal nya suami agak ragu untuk berangkat, karena saat itu, Singapore sedang diramaikan kasus Zika yang jumlah pasien nya di Singapore tercatat ratusan orang. Saat itu, pemerintah Indonesia belum mengeluarkan travel warning. Mengingat jadwal appointement dengan dokter sudah di booked, dan sempat di undur karena dokter berhalangan, kami tetap putuskan berangkat, memohon kepada Allah agar kami sehat dan segala sesuatu dilancarkan. Kami pun berangkat dengan harapan bisa membawa pulang titipan beberapa orang tua IRD berupa alat medis dan obat yang tidak dijual di Indonesia, tentunya juga alat alat kebutuhan Hafidz yang harus selalu kami restock dengan alasan yang sama. Beginilah perjuangan kami, berusaha yang terbaik untuk anak spesial kami, berharap suatu hari, alat alat yang kami butuhkan akan selalu tersedia di kota tempat kami tinggal. Tidak perlu harus beli keluar negeri, atau harus bayar bea cukai jika barang dikirim dari luar negeri. Biarlah harus merogoh kocek dan tidak mengharapkan alat alat tersebut ditanggung asuransi. Tersedia saja di Indonesia, sudah sangat membantu kami.
Setelah pulang dari Singapore, saya di bekali dokter dan perawat dengan tambahan bahan medis baru dan teknik baru dalam merawat kulit sekitar button Hafidz. Dan perawat nya mengingat kan saya untuk menghubungi nya jika saya mengalami kesulitan agar dilaporkan ke dokter.  Satu hal yang saya patut puji, mereka tidak merasa terbebani dengan panggilan telpon, sms, email atau whatsapp dari pasien, mereka akan selalu coba bantu jawab dan tidak mengharapkan bayaran.
 Seminggu setelah pulang dari Singapore, hari Kamis, 18 Agustus 2016, Hafidz demam tinggi dan sesak. Saya bawa ke ugd karena saat itu tabung oksigen menunjukkan oksigen tinggal sedikit. Hari kedua kami membawa Hafidz ke dokter anak. Saya pulang membawa obat dan diajurkan untuk nebulisasi dirumah. Namun Hafidz terlihat rewel tidak seperti biasa, selama 2 hari ini Hafidz tidak tidur, kami bergantian dirumah menjaga Hafidz yang masih tetap demam naik turun, rewel tidak bisa tidur, walaupun terlihat sesak sedikit berkurang karena diberi oksigen. Hari ketiga, saya, asisten dan orang tua dirumah benar benar kelelahan, tidak bisa tidur, bergantian gendong Hafidz yang saat itu sudah 11 kg dan rewel.
Tanggal 20 Agustus 2016 menjelang siang, akhirnya saya putuskan bawa Hafidz kembali ke ugd RS terdekat. Di RS tempat Hafidz sering dirawat ini, saya ceritakan kondisi Hafidz dan akhirnya diputuskan untuk dirawat. Usaha saya merawat Hafidz dirumah saat demam hari pertama dan kedua tidak ada perbaikan, sudah terbayang oleh saya sulitnya mencari akses infuse juka Hafidz dirawat, merupakan salah satu alasan saya untuk berusaha dulu rawat dirumah jika demam 1 atau 2 hari. Benar saja, seperti biasa, butuh waktu yang lama dan petugas yang bergantian mencoba pasang infus di lengan dan kaki Hafidz sampai akhirnya berhasil. Hafidz terlihat lelah sekali, dan sangat penasaran dengan balutan infuse di tangan nya. Perhatian nya hanya tertuju ke tangan nya yang dibalut, walaupun tidak menangis, saya tahu Hafidz merasa sangat tidak nyaman, Sering Hafidz menatap saya agak lama, seperti mau mengatakan dia tidak nyaman. Prosedur standar di lakukan oleh petugas, dilakukan pemeriksaan darah dan rontgen paru. Kami menunggu sedikit lama di ugd karena kamar yang diinginkan penuh. Sementara kami di letakkan di kamar dengan 2 pasien sambil menunggu ada kamar yang kosong. Sore hari, dokter anak datang periksa dan mengatakan hasil rontgen menunjukkan adanya gambaran pneumonia di paru Hafidz dan akan diberikan antibiotic lewat infuse, ditambah dengan serangkaian pengobatan lainnya. Hafidz masih tetap tidak bisa tidur, dan demam masih naik turun.
Sore itu, diatas bed pasien, saya pangku Hafidz, dan tidak lama, Hafidz tertawa melihat saya, walaupun hanya sebentar sebelum dia kembali memusatkan perhatian ke balutan akses infuse di tangannya. Lega sekali rasanya, pertama kali melihat senyum Hafidz sejak ia sakit dan rewel.
Saya ingat, waktu itu saya menelpon suami untuk memberikan update tentang Hafidz. Suami bertanya “Gimana, Ayah perlu cari tiket sekarang?”, saya menjawab dengan sedikit ragu “hmm, kita lihat besok aja Yah, mudah-mudahan sakit nya gak lama”. Suami baru saja seminggu yang lalu izin tidak kerja untuk menemani Hafidz kontrol ke Singapore, sehingga benar benar harus dipertimbangkan jika harus izin lagi.
Sekitar jam 9 malam, barulah kami pindah ke kamar yang kami inginkan. Dengan kondisi kamar yang lebih luas, dan ada bed untuk tempat istirahat penunggu, saya dan asisten yang menemani berniat untuk bergantian tidur. Saya tidur pertama, hari sudah menunjukkan jam 10, saya bilang ke asisten untuk bangunkan saya jam 12. Kondisi Hafidz saat itu terlihat sangat kelelahan, mencoba tidur tapi sering terbangun. Demam masih naik turun. Begitu jam 12 saya bangun, bergantian dengan asisten. Hafidz masih demam tinggi, dan rewel, masih sesak walaupun sudah diberi oksigen. Tidak lama, Hafidz mimisan, awalnya saya mengira mimisan karena demam tinggi. Namun kemudian Hafidz batuk dan dari hidung keluar darah yang berbusa. Barulah terlihat Hafidz semakin drop, dokter dan perawat yang sudah ada diruangan kemudian segera menghubungi dokter jaga iCU. Kondisi hafidz turun drastic, mulai tidak sadar dan nafas berat. Sungguh berat bagi saya menuliskan ini, mengingat kembali apa yang terjadi malam itu. Baru saja kami membawa Hafidz ke IGD siang hari, namun malam nya kondisi Hafidz sudah begitu berat. Saya merasa saat itu juga akan kehilangan Hafidz, barangkali dia tioak akan bertahan sampai di ICU, saya berkali kali bilang ke Hafidz untuk bertahan menunggu Ayah nya datang. Saya telpon Ayah nya mengatakan kondisi Hafidz berat dan harus pulang sambil menangis.
Sampai di ICU, saya melihat dokter dan perawat menangani Hafidz, Hafidz masih bergerak lemah, dengan nafas yang sangat berat. Karena waktu itu dir s hanya ada saya dan asisten, maka saya harus turun ke ruang administrasi untuk pengurusan pindah ke ruang ICU, proses yang memerlukan verifikasi data, sehingga tidak mungkin di wakilkan oleh asisten. Perasaan saya campur aduk karena Hafidz saya tinggal masih dalam kondisi sulit bernapas. Saat saya kembali ke ICU, dokter anak sudah datang dan sedang berusaha untuk intubasi, karena Hafidz harus dipasang ventilator. Saat itu asisten saya memang sedang sakit dan minta izin untuk ke kamar. Saya seorang diri di ICU.
Dokter meminta saya untuk menjelaskan kondisi terakhir Hafidz, sambil menunggu hasil rontgen ulang malam itu. Dokter ingin cari tahu penyebab gagal napas yang dialami Hafidz. Hasil rontgen malam itu menunjukkan paru paru Hafidz sudah putih semua, sudah terjadi kondisi Udem paru akut dan massive. Dokter mengatakan kondisi Hafidz tidak baik, Saturasi oksigen saat itu hanya sekitar 60% meskipun sudah terpasang ventilator dengan settingan optimal. Tekanan darah Hafidz pun rendah, dengan tekanan sistolik terukur 60-an mmHg, dan frekuensi nadi yang masih cepat.
Inilah masa terberat dalam hidup saya, menyaksikan anak gagal napas, tidak sadar, dan mendengar kabar buruk dari dokter. Jam jam yang saya lewati terasa sangat lama sekali, menunggu suami yang tidak berhasil mendapatkan tiket tercepat pagi itu. Mendengar tangisan suami dari ujung telpon yang tidak sabar menemui anak nya. Anak yang terpaksa harus tinggal terpisah dengannya sejak berusia 9 bulan hingga 4,5 tahun. Hanya bisa menggendong dan memeluk setiap cuti bulanan selama beberapa hari. Terakhir menggendong dan memeluk anak nya seminggu lalu, dan sekarang harus mendengar anak yang sudah tidak sadar terbaring di rumah sakit.
Akhirnya, Minggu siang, 21 Agustus 2016, suami saya tiba di RS bersama mertua, segera kami izin untuk menemui Hafidz. Disinilah saya melihat pertama kali nya suami menangis terisak tidak berhenti. Sungguh besar pengorbanan suami saya selama merawat Hafidz, kesabaran dan ketabahan jauh dari anak, tabungan yang habis untuk mengobati anak, merelakan karir nya turun agar bisa bekerja tidak jauh dari anak. Demikian juga orang tua kami, berat bagi mereka melihat cucu satu satu nya dalam kondisi kritis     
Karena kondisi Hafidz yang berat, oleh dokter kami orang tuanya diberikan izin untuk bisa menemani Hafidz setiap saat diruangan ICU. Doa doa kami panjatkan. Saya dan suami berbicara dengan Hafidz, bergantian. Kami saling menguatkan, masa masa terberat dalam hidup kami menghadapi kondisi terberat selama kami dititipkan Hafidz oleh Allah. Tidak banyak perkembangan hari itu. Tanggal 22 Agustus pagi, saya dan suami dijelaskan dokter, kondisi Hafidz semakin drop, semetara settingan alat alat dan obat obatan telah maksimal di berikan, namun respon Hafidz masih jauh dari harapan. Hari itu, saya dan suami menemui Hafidz dan kami dengan sangat berat akhirnya harus mengatakan perkataan yang paling sulit dalam hidup kami. Kami berdua sudah pernah mengalami ‘hampir’ kehilangan Hafidz sebelumnya, dan sudah sering membicarakan ini, bahwa anak yang Allah titipkan ini kapan saja bisa diambil kembali, dan kami harus siap kapan pun Allah panggil. Hingga saat itu benar benar tiba, dengan pemahaman dan keikhlasan sepenuh nya pun, terasa sangat berat bagi kami. Kami hampiri Hafidz dengan air mata mengalir, mengatakan bahwa jika Hafidz masih bisa berjuang, berjuanglah sekuat tenaga agar bisa ketemu ayah dan ibu lagi, bermain lagi dengan kami. Namun, kami ayah ibu nya, ikhlas kalau seandainya Hafidz sudah tidak kuat berjuang, sudah tidak kuat menahan sakit. Bahwa kami ayah ibu nya sayang, namun Allah lebih sayang, dan jika Allah panggil Hafidz, Insya Allah ayah dan ibu bisa terima. Bahwa kami bersyukur Allah sudah kasih kami rezki merawat dan membesarkan Hafidz, anak kesayangan kami yang selalu senyum dan ceria selama 4,5 tahun. Karunia terbesar dari Allah untuk kami.
Orang tua, abang dan keluarga kami berkumpul. Hingga malam hari, kondisi Hafidz semakin drop, dan saat kami menemani nya di samping tempat tidur, sambil membacakan Syahadat, suami melepas Hafidz, disaksikan keluarga, dokter dan perawat pada pukul 22.05 WIB. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rojiun. Allah telah meminta Hafidz kembali.
Tidak bisa saya menahan air mata yang mengalir saat saya menulis ini. Tulisan ini saya selesaikan pada bulan Januari 2017, beberapa hari menjelang hari lahir nya 5 tahun lalu. Saya dan suami bersyukur banyak mengabadikan Hafidz lewat foto dan video, sering kami tersenyum bahkan tertawa melihat dan mengenang kembali tingkah nya yang lucu, tak jarang pula kami menitikkan air mata melihat beberapa video dan mendengar suaranya. Sungguh, air mata ini bukanlah air mata penyesalan, atau air mata yang bertanya tanya kenapa ini terjadi, tapi air mata ini murni karena satu alasan yang tidak mungkin hilang selamanya. Air mata ini mengalir karena KAMI RINDU. Rindu yang tidak akan hilang sampai giliran datang kepada kami menghadap sang Pencipta. Sampai saat itu, tujuan hidup kami adalah berusaha menjadi orang yang pantas bertemu lagi dengan Hafidz di Jannah. 
 Hafidz telah menjadi guru untuk saya, suami, keluarga besar, bahwa Allah Maha Kuasa. Begitu banyak berkah dan pengajaran hidup kami dapatkan selama dititipi Hafidz. Sungguh sudah jelas kemana anak kami seterusnya berada setelah dunia, sehingga dia didatangkan ke dunia ini bukan untuk dirinya, melainkan untuk kami, Allah memperbaiki kami melewati Hafidz, membuat kami melihat dan menilai ulang tentang dunia, tentang hidup, belajar bersabar, dan yang paling penting, belajar bersyukur.

Istirahatlah dengan tenang anakku sayang, semoga ayah dan ibu bisa memeluk mu kembali di surga Allah…