BISMILLAHORROHMAANIRROHIIM
Segala Puji bagi Allah atas segala limpahan rahmat dan karunia yang di berikan
Baru kali ini berani buka blog lagi, buka buku jurnal Hafidz lagi dan beranikan diri untuk buat post. Post kali ini sungguh berat rasanya. campur aduk perasaan saya, bolak balik baca dan edit.
sebenarnya tulisan ini sudah saya buat jauh hari, saat itu dalam persiapan mengangkat cerita Hafidz dalam sebuah buku. Namun karena urung terwujud dan setelah konsultasi dengan sahabat sesama penulis buku, saya putuskan untuk post cerita ini di blog. Teruntuk saudara teman kerabat dan kenalan yang mengenal dan membaca blog Hafidz, mohon maaf saya baru dapat menceritakan hari hari terakhir Hafidz melalui blog ini,
Sungguh menulis menjadi salah satu cara saya untuk kuat, to heal, to learn and to remember...
terima kasih,,,
it's not the end, i will continue writing about my little family and our upcoming journey ahead!
Di tahun
2016, kami menemukan tantangan baru dalam merawat Hafidz. Hafidz sudah
bertambah besar!, lebih aktif, dan terlihat beberapa keterampilan motorik kasar
nya yang membaik. Hafidz lebih mahir memegang mainan, sudah bisa lebih tepat
meraih sesuatu di depan matanya, sudah lebih betah diajak latihan duduk, dan lebih bisa memperlihatkan ekspresi berbeda saat
ngantuk, marah atau sakit. Karena tangan sudah lebih aktif dan mahir, Hafidz
sering menggaruk mata, kuping, dan yang paling membutuhkan perhatian lebih
adalah, sudah pandai menggaruk perut terutama daerah button nya. Beberapa cara
kami lakukan untuk melindungi button. Cara yang lumayan ampuh adalah dengan
membalut perut Hafidz meggunakan kain lembut yang tipis beberapa lapis, dan
menggantu setiap basah. Memang selalu basah, karena Hafidz belum bisa duduk lama
dan berdiri, masih sangat suka telungkup dan berguling, sehingga harus kami
ganti beberapa kali sehari.
Salah satu
permasalahan yang terjadi pada anak dengan gastrostomi adalah adanya rembesan
cairan lambung yang keluar melalui stoma nya. Parah tidak nya sangat bergantung
pada kondisi anak masing masing. Saya sudah sering melihat di media social dan
berbincang dengan beberapa anak dengan gastrostomi. Memang akan selalu ada
rembesan, namun beberapa anak rembesan nya tidak terlalu banyak, terutama anak
yang sudah pandao duduk dan berjalan, sehingga kondisi kulit nya juga baik.
Pada hafidz rembesan yang terjadi lebih banyak di banding anak lainnya. Kulit
sekitar button sering merah, namun tidak perih dan sakit. Hafidz tetap bermain
seperti biasa. Kami coba kontrol dan follow up ke beberaoa dokter. Diantara nya
dokter gastro anak dan bedah anak di Pekanbaru, Jakarta hingga akhirnya kami
memutuskan untuk membawa Hafidz kontrol ke Singapore.
Tanggal 8
Agustus 2016, saya, Hafidz dan suami berangkat dengan penerbangan langsung
Pekanbaru Singapore. Hafidz dalam kondisi baik, tidak demam, tidak sakit dan aktif
bermain. Suami diberikan izin untuk beberapa hari. Saya sendiri saat itu
kondisi baik. Memang beberapa minggu sebelumnya, saya dan suami mendapat kabar
baik, tes kehamilan saya positif. Saya hamil anak kedua, perasaan bahagia dan
bersyukur yang tidak dapat saya gambarkan. Sudah sering saya bercerita ke
Hafidz bahwa dia akan menjadi abang, selalu mengajak nya berdoa agar kami
selalu sehat, supaya bisa bermain dengan adik nya saat sudah lahir. Awal nya
suami agak ragu untuk berangkat, karena saat itu, Singapore sedang diramaikan
kasus Zika yang jumlah pasien nya di Singapore tercatat ratusan orang. Saat
itu, pemerintah Indonesia belum mengeluarkan travel warning. Mengingat jadwal
appointement dengan dokter sudah di booked, dan sempat di undur karena dokter
berhalangan, kami tetap putuskan berangkat, memohon kepada Allah agar kami
sehat dan segala sesuatu dilancarkan. Kami pun berangkat dengan harapan bisa
membawa pulang titipan beberapa orang tua IRD berupa alat medis dan obat yang
tidak dijual di Indonesia, tentunya juga alat alat kebutuhan Hafidz yang harus
selalu kami restock dengan alasan yang sama. Beginilah perjuangan kami,
berusaha yang terbaik untuk anak spesial kami, berharap suatu hari, alat alat
yang kami butuhkan akan selalu tersedia di kota tempat kami tinggal. Tidak
perlu harus beli keluar negeri, atau harus bayar bea cukai jika barang dikirim
dari luar negeri. Biarlah harus merogoh kocek dan tidak mengharapkan alat alat
tersebut ditanggung asuransi. Tersedia saja di Indonesia, sudah sangat membantu
kami.
Setelah
pulang dari Singapore, saya di bekali dokter dan perawat dengan tambahan bahan
medis baru dan teknik baru dalam merawat kulit sekitar button Hafidz. Dan
perawat nya mengingat kan saya untuk menghubungi nya jika saya mengalami
kesulitan agar dilaporkan ke dokter.
Satu hal yang saya patut puji, mereka tidak merasa terbebani dengan
panggilan telpon, sms, email atau whatsapp dari pasien, mereka akan selalu coba
bantu jawab dan tidak mengharapkan bayaran.
Seminggu setelah pulang dari Singapore, hari
Kamis, 18 Agustus 2016, Hafidz demam tinggi dan sesak. Saya bawa ke ugd karena
saat itu tabung oksigen menunjukkan oksigen tinggal sedikit. Hari kedua kami
membawa Hafidz ke dokter anak. Saya pulang membawa obat dan diajurkan untuk
nebulisasi dirumah. Namun Hafidz terlihat rewel tidak seperti biasa, selama 2
hari ini Hafidz tidak tidur, kami bergantian dirumah menjaga Hafidz yang masih
tetap demam naik turun, rewel tidak bisa tidur, walaupun terlihat sesak sedikit
berkurang karena diberi oksigen. Hari ketiga, saya, asisten dan orang tua
dirumah benar benar kelelahan, tidak bisa tidur, bergantian gendong Hafidz yang
saat itu sudah 11 kg dan rewel.
Tanggal 20
Agustus 2016 menjelang siang, akhirnya saya putuskan bawa Hafidz kembali ke ugd
RS terdekat. Di RS tempat Hafidz sering dirawat ini, saya ceritakan kondisi
Hafidz dan akhirnya diputuskan untuk dirawat. Usaha saya merawat Hafidz dirumah
saat demam hari pertama dan kedua tidak ada perbaikan, sudah terbayang oleh
saya sulitnya mencari akses infuse juka Hafidz dirawat, merupakan salah satu
alasan saya untuk berusaha dulu rawat dirumah jika demam 1 atau 2 hari. Benar
saja, seperti biasa, butuh waktu yang lama dan petugas yang bergantian mencoba
pasang infus di lengan dan kaki Hafidz sampai akhirnya berhasil. Hafidz
terlihat lelah sekali, dan sangat penasaran dengan balutan infuse di tangan
nya. Perhatian nya hanya tertuju ke tangan nya yang dibalut, walaupun tidak
menangis, saya tahu Hafidz merasa sangat tidak nyaman, Sering Hafidz menatap
saya agak lama, seperti mau mengatakan dia tidak nyaman. Prosedur standar di
lakukan oleh petugas, dilakukan pemeriksaan darah dan rontgen paru. Kami
menunggu sedikit lama di ugd karena kamar yang diinginkan penuh. Sementara kami
di letakkan di kamar dengan 2 pasien sambil menunggu ada kamar yang kosong.
Sore hari, dokter anak datang periksa dan mengatakan hasil rontgen menunjukkan
adanya gambaran pneumonia di paru Hafidz dan akan diberikan antibiotic lewat
infuse, ditambah dengan serangkaian pengobatan lainnya. Hafidz masih tetap
tidak bisa tidur, dan demam masih naik turun.
Sore itu,
diatas bed pasien, saya pangku Hafidz, dan tidak lama, Hafidz tertawa melihat
saya, walaupun hanya sebentar sebelum dia kembali memusatkan perhatian ke
balutan akses infuse di tangannya. Lega sekali rasanya, pertama kali melihat
senyum Hafidz sejak ia sakit dan rewel.
Saya ingat,
waktu itu saya menelpon suami untuk memberikan update tentang Hafidz. Suami
bertanya “Gimana, Ayah perlu cari tiket sekarang?”, saya menjawab dengan
sedikit ragu “hmm, kita lihat besok aja Yah, mudah-mudahan sakit nya gak lama”.
Suami baru saja seminggu yang lalu izin tidak kerja untuk menemani Hafidz
kontrol ke Singapore, sehingga benar benar harus dipertimbangkan jika harus
izin lagi.
Sekitar jam
9 malam, barulah kami pindah ke kamar yang kami inginkan. Dengan kondisi kamar
yang lebih luas, dan ada bed untuk tempat istirahat penunggu, saya dan asisten
yang menemani berniat untuk bergantian tidur. Saya tidur pertama, hari sudah
menunjukkan jam 10, saya bilang ke asisten untuk bangunkan saya jam 12. Kondisi
Hafidz saat itu terlihat sangat kelelahan, mencoba tidur tapi sering terbangun.
Demam masih naik turun. Begitu jam 12 saya bangun, bergantian dengan asisten.
Hafidz masih demam tinggi, dan rewel, masih sesak walaupun sudah diberi
oksigen. Tidak lama, Hafidz mimisan, awalnya saya mengira mimisan karena demam
tinggi. Namun kemudian Hafidz batuk dan dari hidung keluar darah yang berbusa.
Barulah terlihat Hafidz semakin drop, dokter dan perawat yang sudah ada
diruangan kemudian segera menghubungi dokter jaga iCU. Kondisi hafidz turun
drastic, mulai tidak sadar dan nafas berat. Sungguh berat bagi saya menuliskan
ini, mengingat kembali apa yang terjadi malam itu. Baru saja kami membawa
Hafidz ke IGD siang hari, namun malam nya kondisi Hafidz sudah begitu berat.
Saya merasa saat itu juga akan kehilangan Hafidz, barangkali dia tioak akan
bertahan sampai di ICU, saya berkali kali bilang ke Hafidz untuk bertahan
menunggu Ayah nya datang. Saya telpon Ayah nya mengatakan kondisi Hafidz berat
dan harus pulang sambil menangis.
Sampai di
ICU, saya melihat dokter dan perawat menangani Hafidz, Hafidz masih bergerak
lemah, dengan nafas yang sangat berat. Karena waktu itu dir s hanya ada saya
dan asisten, maka saya harus turun ke ruang administrasi untuk pengurusan
pindah ke ruang ICU, proses yang memerlukan verifikasi data, sehingga tidak
mungkin di wakilkan oleh asisten. Perasaan saya campur aduk karena Hafidz saya
tinggal masih dalam kondisi sulit bernapas. Saat saya kembali ke ICU, dokter
anak sudah datang dan sedang berusaha untuk intubasi, karena Hafidz harus
dipasang ventilator. Saat itu asisten saya memang sedang sakit dan minta izin untuk
ke kamar. Saya seorang diri di ICU.
Dokter
meminta saya untuk menjelaskan kondisi terakhir Hafidz, sambil menunggu hasil
rontgen ulang malam itu. Dokter ingin cari tahu penyebab gagal napas yang
dialami Hafidz. Hasil rontgen malam itu menunjukkan paru paru Hafidz sudah
putih semua, sudah terjadi kondisi Udem paru akut dan massive. Dokter
mengatakan kondisi Hafidz tidak baik, Saturasi oksigen saat itu hanya sekitar
60% meskipun sudah terpasang ventilator dengan settingan optimal. Tekanan darah
Hafidz pun rendah, dengan tekanan sistolik terukur 60-an mmHg, dan frekuensi
nadi yang masih cepat.
Inilah masa
terberat dalam hidup saya, menyaksikan anak gagal napas, tidak sadar, dan
mendengar kabar buruk dari dokter. Jam jam yang saya lewati terasa sangat lama
sekali, menunggu suami yang tidak berhasil mendapatkan tiket tercepat pagi itu.
Mendengar tangisan suami dari ujung telpon yang tidak sabar menemui anak nya.
Anak yang terpaksa harus tinggal terpisah dengannya sejak berusia 9 bulan
hingga 4,5 tahun. Hanya bisa menggendong dan memeluk setiap cuti bulanan selama
beberapa hari. Terakhir menggendong dan memeluk anak nya seminggu lalu, dan
sekarang harus mendengar anak yang sudah tidak sadar terbaring di rumah sakit.
Akhirnya,
Minggu siang, 21 Agustus 2016, suami saya tiba di RS bersama mertua, segera
kami izin untuk menemui Hafidz. Disinilah saya melihat pertama kali nya suami
menangis terisak tidak berhenti. Sungguh besar pengorbanan suami saya selama
merawat Hafidz, kesabaran dan ketabahan jauh dari anak, tabungan yang habis
untuk mengobati anak, merelakan karir nya turun agar bisa bekerja tidak jauh
dari anak. Demikian juga orang tua kami, berat bagi mereka melihat cucu satu
satu nya dalam kondisi kritis
Karena
kondisi Hafidz yang berat, oleh dokter kami orang tuanya diberikan izin untuk
bisa menemani Hafidz setiap saat diruangan ICU. Doa doa kami panjatkan. Saya
dan suami berbicara dengan Hafidz, bergantian. Kami saling menguatkan, masa
masa terberat dalam hidup kami menghadapi kondisi terberat selama kami
dititipkan Hafidz oleh Allah. Tidak banyak perkembangan hari itu. Tanggal 22
Agustus pagi, saya dan suami dijelaskan dokter, kondisi Hafidz semakin drop,
semetara settingan alat alat dan obat obatan telah maksimal di berikan, namun
respon Hafidz masih jauh dari harapan. Hari itu, saya dan suami menemui Hafidz
dan kami dengan sangat berat akhirnya harus mengatakan perkataan yang paling
sulit dalam hidup kami. Kami berdua sudah pernah mengalami ‘hampir’ kehilangan
Hafidz sebelumnya, dan sudah sering membicarakan ini, bahwa anak yang Allah
titipkan ini kapan saja bisa diambil kembali, dan kami harus siap kapan pun
Allah panggil. Hingga saat itu benar benar tiba, dengan pemahaman dan
keikhlasan sepenuh nya pun, terasa sangat berat bagi kami. Kami hampiri Hafidz
dengan air mata mengalir, mengatakan bahwa jika Hafidz masih bisa berjuang,
berjuanglah sekuat tenaga agar bisa ketemu ayah dan ibu lagi, bermain lagi
dengan kami. Namun, kami ayah ibu nya, ikhlas kalau seandainya Hafidz sudah
tidak kuat berjuang, sudah tidak kuat menahan sakit. Bahwa kami ayah ibu nya
sayang, namun Allah lebih sayang, dan jika Allah panggil Hafidz, Insya Allah
ayah dan ibu bisa terima. Bahwa kami bersyukur Allah sudah kasih kami rezki
merawat dan membesarkan Hafidz, anak kesayangan kami yang selalu senyum dan
ceria selama 4,5 tahun. Karunia terbesar dari Allah untuk kami.
Orang tua,
abang dan keluarga kami berkumpul. Hingga malam hari, kondisi Hafidz semakin
drop, dan saat kami menemani nya di samping tempat tidur, sambil membacakan
Syahadat, suami melepas Hafidz, disaksikan keluarga, dokter dan perawat pada
pukul 22.05 WIB. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rojiun. Allah telah meminta Hafidz
kembali.
Tidak bisa
saya menahan air mata yang mengalir saat saya menulis ini. Tulisan ini saya
selesaikan pada bulan Januari 2017, beberapa hari menjelang hari lahir nya 5
tahun lalu. Saya dan suami bersyukur banyak mengabadikan Hafidz lewat foto dan
video, sering kami tersenyum bahkan tertawa melihat dan mengenang kembali
tingkah nya yang lucu, tak jarang pula kami menitikkan air mata melihat
beberapa video dan mendengar suaranya. Sungguh, air mata ini bukanlah air mata
penyesalan, atau air mata yang bertanya tanya kenapa ini terjadi, tapi air mata
ini murni karena satu alasan yang tidak mungkin hilang selamanya. Air mata ini
mengalir karena KAMI RINDU. Rindu yang tidak akan hilang sampai giliran datang
kepada kami menghadap sang Pencipta. Sampai saat itu, tujuan hidup kami adalah
berusaha menjadi orang yang pantas bertemu lagi dengan Hafidz di Jannah.
Hafidz telah menjadi guru untuk saya, suami,
keluarga besar, bahwa Allah Maha Kuasa. Begitu banyak berkah dan pengajaran
hidup kami dapatkan selama dititipi Hafidz. Sungguh sudah jelas kemana anak
kami seterusnya berada setelah dunia, sehingga dia didatangkan ke dunia ini
bukan untuk dirinya, melainkan untuk kami, Allah memperbaiki kami melewati
Hafidz, membuat kami melihat dan menilai ulang tentang dunia, tentang hidup,
belajar bersabar, dan yang paling penting, belajar bersyukur.
Istirahatlah
dengan tenang anakku sayang, semoga ayah dan ibu bisa memeluk mu kembali di
surga Allah…